nusakini.com - Lutra - Penetapan tersangka terhadap dugaan pembunuhan di Baebunta, Luwu Utara (Lutra), dianggap sangat prematur dan sangat terburu-buru.

Hal ini dikatakan Frans Lading, SH, MH, yang merupakan salah satu kuasa hukum dari tersangka yang diduga melanggar tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 170 ayat 2 ke- 3 KUHP 

Frans pun sangat menyayangkan terkait proses hukum yang dijalankan penyidik Luwu Utara yang kesannya sangat terburu-buru dan melanggar hukum formil. Bagaimana tidak selama proses penyelidikan-penyidikan, kata Frans, pihak penyidik Polres Luwu Utara memanggil saksi tidak dengan surat tapi via telepon. 

"Padahal dalam SOP penyidikan, pasal 17 ayat (2) Peraturan Kapolri Nomor: 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, tegas menyebutkan pemanggilan terhadap Tersangka/Saksi/Ahli dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan juga dipertegas dalam KUHAP khususnya pada pasal 227 ayat 1 dan 2 yang berbunyi semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan, di tempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir”, tegas Frans, Sabtu (11/12/2021).

"Harusnya termohon memberikan waktu minimal 3 (tiga) hari kepada pemohon untuk mempersiapkan dokumen-dokumen terkait proses pemberian keterangan sebagai saksi," sambung Frans Lading.  

Frans sangat menyayangkan tindakan penyidik Luwu Utara yang sama sekali tidak memberikan SPDP kepada terlapor dalam hal ini tersangka, ataupun keluarganya padahal ini perintah undang-undang.

"Ini saya sampaikan karena menurut pengakuan tersangka ke saya dan keluarganya, bahwa mereka sama sekali tidak diberikan SPDP. Bahkan menurut pengakuan keluarga tersangka anak kami diperiksa tidak ada surat panggilannya hanya ditelpon saja," ungkap Frans.

Frans menjelaskan bahwa Putusan MK tersebut juga sejalan denganPasal 14 ayat (1) Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, yang tegas menyebutkan SPDP sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3), dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan.

"Bahwa pada faktanya penyidik sampai sekarang belum memberitahukan dan menyerahkan SPDP kepada tersangka maupun kepada keluarganya. Bahwa sebagai terlapor dan yang menjadi kewajiban dari penyidik Polres Luwu Utara wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP tersebut kepada pemohon sebagai terlapor paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan," jelas Frans.

Menurut Frans Lading, sebagai kuasa hukum para tersangka, akan melakukan upaya hukum dan akan bersurat kepada Kadiv. Propam Polda Sulsel, ditembuskan ke Kadiv. Propam Mabes Polri dan Kapolri. 

"Mumpung sekarang Institusi Polri ini berbenah. Salut sama Kadiv. Propam dan Kapolri yang langsung menindak tegas bawahannya ketika ada yang salah menjalankan tugas, apalagi ini masalah hukum dan masalah hak manusia," kata Frans.

"Saya menduga bahwa ada penerapan hukum formil yang keliru tapi untuk pastinya nanti kita uji," ujar. Frans Lading. [Konten Media Partner: dailymakassar.id]